Soe Hok Gie adalah ikon gerakan mahasiswa. Ia telah menjadi inspirasi bagi banyak aktivis kampus di era tahun 1980-an hingga 1990-an. Bahkan catatan hariannya yang dibukukan dalam Catatan Seorang Demonstran, menjadi semacam bacaan wajib bagi peminat ataupun simpatisan dunia pergerakan.Dari buku tersebut dapat dilihat bagaimana Hok-Gie merespon realitas.
Jejak kegelisahan, semangat, perenungan, sikap maupun idealismenya dapat dilihat dari buku tersebut. Buku tersebut seolah menjadi representasi dunia batin adik kandung budayawan Arief Budiman itu.Namun, sisi human interest dari Hok-Gie memang sulit untuk dilacak. Rasanya belum ada literatur yang mengungkap sisi ini. Padahal hal ini boleh jadi sisi yang "misterius" dari Hok-Gie, sebut saja bagaimana cara ia bergaul dengan karib serta koleganya, bagaimana cara ia menangani permasalahan di lapangan, ataupun bagaimana hubungannya dengan beberapa teman dekat wanitanya.Kehadiran buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi, tampaknya mulai membuka sisi lain dari Hok-Gie. Sosoknya perlahan mulai terungkap meskipun tidak bisa secara utuh mengurai kompelksitasnya.
Buku ini berisi sejumlah tulisan dari beberapa sahabat dekat, rekan pencinta alam yang tergabung dalam Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) Universitas Indonesia, budayawan, peneliti, sineas, maupun aktor. Dari tulisan-tulisan inilah dapat diketahui mozaik lain dari Hok-Gie.Penulis pertama buku ini adalah Rudy Badil, salah seorang anggota Mapala UI yang ikut serta dalam pendakian ke Semeru pada pertengahan bulan Desember 1969.
Di bagian awal inilah Rudy menceritakan apa yang dialaminya pada hari-hari saat-saat terakhir bersama Hok-Gie.jika Anda sempat membaca buku ini—yang mungkin sudah beredar dan akan diluncurkan pertama kali tanggal 16 Desember mendatang di Universitas Indonesia, Depok—bersiap-siaplah menjadi tambah gila. Tergila-gila karena tiba-tiba Anda bisa menjadi pengagum baru sosok Soe Hok-Gie. Semangat Anda akan menjadi terbakar dan yang pasti, terinspirasi.Tergila-gila dan kemudian ikut peduli memikirkan masa kini, juga masa esok, alam bangsanya, siapa takut?”Soe Hok-Gie …Sekali Lagi ini, yang katanya small outside with big inside, terbagi dalam lima bab dan tersusun unik.
Unik karena buku kenangan sekaligus bunga rampai 20-an tulisan serta pemanfaatan dokumentasi ini membuat informasi kejadian dan peristiwa nyata, yang biarpun berlangsung 40-an tahun lalu masih terasa jelas benang merahnya,” kata Rudy Badil, salah seorang dari tiga editor buku. Dua editor lainnya adalah Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan R.Buku dengan judul kecil “Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya” ini menyajikan dengan otentik dan amat eksklusif testimoni survivors Musibah Semeru 16 Desember 1969.”
Buku ini juga memuat rangkaian dokumentasi bagus tentang Soe Hok-Gie dan Idham Lubis, suatu sajian unik yang memberikan dimensi lain mengenai kejadian masa lalu dua sekawan itu. Dari situ diketahui bahwa, bahkan selewat 35 tahun sejak Soe meninggal tahun 1969, nama Hok-Gie masih dicatut oleh segelintir manusia culas untuk menjual proposal penipuan adanya harta karun tipu-tipu senilai triliunan rupiah di puncak Mahameru,” papar Rudy Badil.Jakob Oetama dalam tulisannya, ”Gelisah atas Nama Integritas”, menulis, ”Di tengah krisis rasa keadilan, hilangnya rasa, dan gencarnya semangat menggugat hukum saat ini, sosok Soe Hok-Gie pantas ditampilkan. Dilakukan tidak dengan maksud mengultusindividukan, tidak juga memaksakan, melainkan menawarkan nilai-nilai keteladanan, terutama integritas dan kebersihan hati.”Menurut Jakob, Soe Hok-Gie mungkin tidak sekadar nama, tetapi sebuah nama yang telah mengukirkan sosok yang terus gelisah, inspirator yang terus menggugat… atas nama integritas dan kehormatan diri.
Dikisahkan pula bagaimana sulitnya proses evakuasi kedua jenazah tersebut. Hal ini disebabkan sulitnya menjangkau lokasi karena medan yang cukup berat. Namun, dengan bantuan penduduk setempat, kedua jenazah dapat diturunkan.Dari sejumlah tulisan lain dalam buku ini, terungkap pula bahwa Hok-Gie adalah sosok idealis yang seakan tidak pernah takut kepada siapa pun selama ia yakin dengan sikapnya. Bahkan ia siap berhadapan dengan penguasa jika memang penguasa tersebut berbuat sesuatu yang dianggapnya mencederai rasa keadilan.Tidak heran jika kritik mapun protes keras acap kali ia sampaikan kepada penguasa, terutama lewat tulisan-tulisannya di berbagai media massa.
Hasilnya, Hok-Gie memang dianggap orang yang berseberangan dengan penguasa. Termasuk ketika Hok-Gie terang-terangan melawan Presiden Soekarno yang dianggap memberi ruang terlalu berlebihan untuk Partai Komunis Indonesia (PKI).Menariknya, meskipun Hok-Gie adalah seorang anti-komunis--ditandai dengan dengan terjun langsungnya ia ke arena perlawanan terhadap komunisme--tetapi dia tetap protes ketika terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan PKI tanpa melalui proses di pengadilan.
Stanley Adi Prasetyo, Komisioner Komnas HAM Republik Indonesia yang menyumbangkan tulisan dalam buku ini, mengutip tulisan Hok-Gie untuk memperlihatkan sikap Hok-Gie, terhadap masalah pembantaian tersebut. Hok-Gie dalam dalam majalah Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat menulis, ketika pembunuhan dilangsungkan, para tawanan sering minta untuk segera dibunuh saja. Alasannya, mereka telah mengetahui bagaimana hidup mereka akan berakhir. Hal itu dilakukan karena mereka takut menghadapi siksaan atau cara pembunuhan mengerikan yang dilakukan oleh manusia yang menyebut dirinya ber-Tuhan (Hal. 349).Hok-Gie memang sinis dengan ketidakadilan maupun kemunafikan. Ia tidak segan melakukan serangan terhadap realitas seperti itu. Untuk soal ini sikapnya hanya hitam-putih, tidak ada wilayah abu-abu.
Dalam pandangannya, setiap kekeliruan harus diluruskan, meskipun itu dilakukan seorang pejabat yang memiliki otoritas.Keiritisan Hok-Gie ternyata bersifat mengakar, hingga menyentuh persoalan agama. Dalam hal ini Hok-Gie tidak main mutlak-mutlakan. Ia yang mengaku mengalami "krisis kepercayan", menolak pendapat dari otoritas pemuka agama yang menyatakan bahwa agama yang mereka anut adalah satu-satunya agama yang akan mengantarkan manusia ke surga. Bagi Hok-Gie gagasan ini terlalu berlebihan. Baginya agama haruslah membawa pembebasan, dan bukan menjadi alat masyarakat untuk mencapai kepentingan tertentu.
Di balik itu semua ada sisi menarik lain dari Hok-Gie. Meskipun selalu berikap kritis dan tegas terhadap apa yang dilihatnya, toh tetap saja Hok-Gie adalah anak muda dengan dinamikanya sendiri, entah itu dalam pergaulan, komunitas hobi, kampus, sampai perempuan.Dalam pergaulan misalnya Hok-Gie dikenal akrab dan terbuka dengan sejumlah kawan. Pembicaraan mereka pun sangat khas anak muda, termasuk subjek atau pembicaraan yang dianggap "menyerempet bawah perut"--begitu istilah Kartini Syahrir dalam buku ini.Sisi lain kemanusiaan Hok-Gie yang ingin diungkap dalam buku inilah adalah kesepian yang dialaminya. Di tengah kegiatannya yang nyaris seakan tidak ada jeda, mulai dari menggalang massa mahasiswa turun ke jalanan, hingga naik gunung bersama pecinta alam lainnya, Hok-Gie adalah potret manusia yang dilanda sepi. Keironisan itulah yang ditangkap oleh Aris Santoso dalam buku ini. Inilah kesepian yang harus diterima Hok-Gie sebagai konsekuensi dari pilihan idealisme, keteguhan hati, dan kesetiaan kepada kebenaran.Jelaslah, buku ini bukan sebuah usaha untuk mengultuskan sosok Hok-Gie. Sebaliknya buku ini mencoba untuk memperlihatkan sosok Hok-Gie apa adanya, dari sudut pandang orang-orang yang mengagumi dan mencintainya.
Buku ini sebenarnya dapat lebih kaya jika surat-surat pribadi Hok-Gie hasil korespondensinya dengan sejumlah orang dapat dimuat. Bukankah ia disebut-sebut berkorespondesi dengan Ben Anderson, Daniel S Lev, David R Looker, Syharir, sampai Onghokham. Tentu saja hal ini perlu usaha yang lebih rumit untuk mengumpulkan kembali surat-surat yang dimaksud.
Namun demikian, kehadiran Soe Hok-Gie...Sekali Lagi sedikitnya dapat memberikan sebuah penggalan lain kisah seorang Hok-Gie. Kita pun diingatkan kembali bukan hanya kepada keberaniannya, tetapi juga persoalan bangsa Indonesia yang membutuhkan politisi serta pemimpin yang peduli, peka dan siap bekerja untuk kemajuan bangsanya tanpa pamrih.
Soe Hok Gie
Langganan:
Posting Komentar (Atom)