Norman Edwin (1955 - 1992). Sosok petualang yang satu ini tentu sudah tak asing lagi bagi para pendaki Indonesia. Seorang penggiat petualang alam terbuka yang pemberani dan juga dikenal suka menolong. Norman Edwin lahir di Sungai Gerong, Sumatera Selatan, pada tanggal 16 Januari 1955, kuliah di jurusan Sejarah Universitas Padjdjaran, Bandung, dan jurusan Arkeologi Universitas Indonesia. Norman juga tercatat sebagai wartawan Kompas semasa hidupnya. Pada tahun 1980-an ia banyak menulis di beberapa surat kabar dan majalah, tentu saja tentang kegiatan jelajah alam. Pendaki Indonesia juga mengenang Norman sebagai pelopor pendakian ke berbagai gunung ternama di dunia.
Norman Edwin, anak lelaki yang berdarah Palembang-Cirebon. Sejak kecil dia sudah menyukai kegiatan yang berbau petualangan. Ketika SMA, dia sudah beberapa kali melakukan pendakian gunung. Hingga kegiatan pendakiannya makin menggila ketika ia bergabung dengan Mapala UI. Bisa dikatakan, Norman hampir menguasai seluruh bidang petualangan di alam bebas. Pada waktu itu dunia petualangan berupa kegiatan mendaki gunung (hiking), panjat tebing (rock climbing), telusur goa (caving), berlayar (sailing), arung jeram (rafting), menyelam (diving) atau terjun payung. Dari semua dunia itu, hanya diving dan terjun payung kiprah Norman tidak begitu santer terdengar.
Norman Edwin, si Beruang Gunung, petualang sejati yang paling handal dan diandalkan juga paling kharismatis. Ia juga bukan petualang karbitan yang heboh waktu berhasil mendaki sebuah gunung setelah itu hilang lenyap, tak ada lagi berita aktivitas kelanjutannya. Karena Norman itu orang yang konsisten dan disiplin.
Ia juga sosok yang humoris, sekaligus `guru' yang rendah hati dan jadi idola sekian banyak pecinta alam. Tak jarang ia diundang oleh perkumpulan-perkumpulan pecinta alam untuk menjadi instruktur mereka, membagi cerita dan pengalaman petualangannya. Atau kiprah nyata dia dalam memimpin proses evakuasi, operasi SAR korban hilang di gunung. Ia menjadi orang pertama yang mempopulerkan arung jeram serta telusur goa di Indonesia. Ia juga menjadi satu-satunya orang Indonesia yang memiliki sertifikat lisensi teknik penyelamatan goa dari Ameika Serikat. Ia petualang Indonesia (pada masa itu) yang sudah merambahi benua Amerika, Afrika, Asia, Eropa, Australia, hingga daerah Alaska.
Norman juga tak hanya dikenal sebagai seorang petualang yang tangguh, ia merupakan seorang yang piawai dalam dunia jurnalistik. Baik motret atau pun membikin tulisan. Ia memang sempat jadi wartawan Mutiara, Suara Alam dan Kompas. Belum lagi tulisan-tulisannya yang tersebar ke
berbagai media massa. Gaya tulisan Norman memiliki ciri khas yang unik. Tulisannya yang jujur, tegas, terbuka dan berani dalam mengungkapkan berbagai titik permasalahan. Dia selalu menuliskan kejujuran, meski terkadang dianggap kontroversi. Tak perduli itu akan membikin panas telinga beberapa pihak. Namun itulah yang mematangkan dunia tulis menulis Norman.
Norman tak hanya menceritakan berita petualangannya saja yang lokal maupun internasional itu saja. Tapi ia selalu menulis berita informasi yang lengkap dan dengan gaya tulisan yang manis. Kadang ia juga menyelipkan nasehat cara-cara yang baik untuk bergiat di alam bebas. Jadi tak melulu menceritakan kegagahannya di alam bebas. Hingga ketulusan Norman dalam memperkenalkan kegiatan alam bebas makin dipertegas dengan menerbitkan sebuah buku karangannya yang berjudul "Mendaki Gunung adalah Sebuah Tantangan Petualangan", terbitan PT. Aya Media pada tahun 1987. Ia memang telah mempopulerkan olah raga di alam bebas di kalangan generasi muda lewat tulisannya di berbagai media massa, juga melalui seminar dan berhasil menggerakkan mereka untuk kembali mencintai alam, mengajarkan bagaimana menggiati dunia petualangan yang baik dan sehat bagi remaja serta buku buah karya Norman itu juga telah merembesi sekian banyak pecinta alam muda Indonesia.
Ia juga yang berambisi mengangkat nama Indonesia dengan program—Seven Summit—mendaki serta mengibarkan Sang Saka Merah Putih di tujuh puncak dari tujuh benua. Ia makin dikenal di dalam maupun luar negeri. Perlu diketahui juga, bila sedang berkunjung ke luar negeri Norman dan rekan-rekannya tak pernah jemu untuk selalu memperkenalkan Indonesia ke negara yang dikunjunginya—terutama mempromosikan daerah wisata di Indonesia. Empat puncak berhasil didaki secara spartan, yakni puncak Carstensz Pyramide, McKinley, Elbrus, Kilimanjaro hingga
ekspedisi puncak benua yang ke 5, yakni gunung Aconcagua. Hingga berita buruk itu pun, tersiar bahwa tim ekspedisi Mapala UI mengalami musibah di gunung yang berada di Amerika Selatan, perbatasan Chile– Argentina tepatnya. Tim Norman memang banyak mengalami kendala di
lapangan, hingga tersiar kabar yang lebih menyakitkan lagi. Bahwa Didiek Samsu—salah seorang teman seperjalanannya—ditemukan dalam keadaan tewas dan Norman dinyatakan hilang tak tahu arahnya, hingga akhirnya diketemukan oleh pendaki Austria dalam keadaan tewas, hanya 200 meter dari puncak Aconcagua!
Kematian Norman Edwin
Norman meninggal pada pertengahan April 1992 saat mendaki Gunung Aconcagua (6.959 mdpl) bersama Didiek Samsu Wahyu Triachdi. Pendakian tersebut adalah bagian dari seri pendakian oleh Mapala UI dalam ekspedisi Seven Summit (Aconcagua, Cartensz Pyramid, McKinley di Alaska (Amerika Serikat), Kilimanjaro di Tanzania (Afrika), dan Elbrus di Rusia). Indonesia kehilangan dua pendaki terbaiknya sekaligus.
Meninggalnya mereka berdua banyak diliput oleh Media nasional dan international. Kala itu Norman juga menjadi pemimpin dari ekspedisi team MAPALA UI di gunung yg disebut juga ‘The Devil’s Mountain’ itu. Memang banyak juga yang meragukan Norman kala itu, namun berbekal pengetahuan dalam Penelusuran gua, Pendakian Gunung, Pelayaran, Arung Jeram serta sejumlah pengalaman Rescue di Irian Jaya, Kalimantan, Africa, Kanada bahkan Himalaya, membentuk kecepatan dan kekuatan phisik pada dirinya yang telah bergabung di Mapala UI sejak tahun 1977. Sampai akhirnya terpilih menjadi Leader dalam Expedisi ini bersama Didiek, Rudy “Becak” Nurcahyo, Mohamad Fayez and Dian Hapsari, satu satunya wanita dalam team tersebut.
Pengalaman selama 15 tahun dalam berpetualang sudahlah cukup bagi Norman untuk tetap berangkat. Saat expedisi berlangsung, badai salju menghantam Team ini dan akhirnya merenggut nyawa dua pendaki ini. Jenazah Didiek ditemukan terlebih dahulu pada tanggal 23 Maret atas laporan beberapa pendaki dari negara lain yang sempat melihat mereka berdua di ketinggian 6400 m, hanya tinggal beberapa ratus meter menuju Puncak Aconcagua. Sedangkan jenazah Norman ditemukan beberapa hari kemudian dan langsung diterbangkan ke Jakarta pada tanggal 21 April 1992.
Laporan saat itu kondisi keduanya terlihat sangat kritis, beberapa jari Norman terkena Frosbite (Mati Beku karena Dingin) dan Didiek menderita Snow Blindness (Buta Salju) akibat pancaran sinar matahari yang berlebihan yang memantul dari salju. Terlihat dari kacamata yang dipakai Didiek rusak berat. Spekulasi merebak melalui media massa bahwa kegagalan mereka juga diakibatkan karena minimnya peralatan yang dibawa.
Setahun kemudian Mapala UI yang status keanggotaannya berlaku seumur hidup ini, mengirim kembali dua anggotanya, yaitu Tantyo Bangun dan Ripto Mulyono untuk menyelesaikan pendakian ke Vinson Massif (4,887 meter) di Kutub Selatan. Dan satu lagi Puncak Everest di Himalaya dengan nama Team Expedisi Universitas Indonesia, namun sayang kegagalan juga menimpa team ini.
Dua kegagalan rupanya tidak menyurutkan semangat Mapala UI, karena puncak terakhirnya tetap dijadikan target bagi Expedisi Gabungan selanjutnya yang terdiri dari Mapala UI, Koppassus dan Wanadri. ‘Kami berusaha melakukan pendakian gabungan ke Everest tahun 1997 dan sukses, dua anggota team dari prajurit Koppassus yaitu Asmujiono dan Misirin berhasil mencapai Puncak Everest.’ ujar Rudy “Becak” Nurcahyo anggota Indonesian National Team to Everest yang juga kehilangan jarinya karna Frosbite di Expedisi Aconcagua.
‘Kami mencoba yang tebaik untuk mewujudkan itu semua. dan saya percaya Norman dan Didiek pun akan tersenyum disana melihat keberhasilan Team Everest ini. walaupaun setelah tahun 1997, Indonesia dilanda krisis ekonomi kemudian masa reformasi yang tak lama berselang. Keadaan ini otomatis ini menghambat Expedisi-expedisi selanjutnya yang telah direncanakan.
Norman Edwin Dimata Istri
Bagi istri Norman, Karina serta Melati putrinya, sosok hangat dan eksentrik Norman akan tetap menjadi kenangan yang takkan terlupakan. Semasa hidup, Melati selalu diajak serta dalam kegiatan alam bebas yang digeluti ayahnya itu, termasuk perjalanan ke Irian Jaya saat ia masih kecil. ‘Norman menjadi seorang petualang sejati dan sedikit bandingannya diantara pendaki-pendaki yang ada sekitar tahun 1970-80, dan Didiek adalah teman dekatnya.
Ia tunjukkan rasa hormatnya kepada wanita dan yakin bahwa wanita dapat mengerjakan sesuatu yang lebih baik daripada pria, apalagi menyangkut faktor keselamatan, contohnya Penulusan Gua’ papar Karina yang dulu juga aktif dalam kegiatan alam bebas sekembalinya dari Australia dan mengambil kuliah lagi jurusan Arkeologi di Universitas Indonesia.
Pesan dari Norman Edwin
‘Norman pernah mengatakan, aktivis alam wanita cenderung lebih tenang, tidak mudah panik dan dapat mengatasi situasi darurat jika dibandingkan dengan pria. Bagi saya ia sangat humoris dan mempunyai semangat hidup yang tinggi. Begitu pula yg rasakan Melati, sifat ayahnya ini menurun kepadanya walaupun ia masih berusia remaja. “Janganlah kita mencoba menaklukkan ganasnya alam, tapi belajarlah untuk menaklukkan ego serta mengetahui batasan diri kita sendiri”, faktor ini adalah yang terpenting jika ingin menekuni olahraga beresiko tinggi’ ungkap Karina yang dulu juga ikut dalam team di Expedisi Cartenz Irian Jaya tahun 1981 dan saat ini telah menyelesaikan program Doctoralnya di Australian National University.
Norman dan Didiek telah tiada, namun perjuangan mereka berdua akan tetap dikenang. Pendaki Indonesia patut memberikan penghargaan bagi manusia yang sangat mengispirasi para pendaki Gunung Indonesia.
sumber : wikipedia.org, thejakartapost.com
Norman Edwin, anak lelaki yang berdarah Palembang-Cirebon. Sejak kecil dia sudah menyukai kegiatan yang berbau petualangan. Ketika SMA, dia sudah beberapa kali melakukan pendakian gunung. Hingga kegiatan pendakiannya makin menggila ketika ia bergabung dengan Mapala UI. Bisa dikatakan, Norman hampir menguasai seluruh bidang petualangan di alam bebas. Pada waktu itu dunia petualangan berupa kegiatan mendaki gunung (hiking), panjat tebing (rock climbing), telusur goa (caving), berlayar (sailing), arung jeram (rafting), menyelam (diving) atau terjun payung. Dari semua dunia itu, hanya diving dan terjun payung kiprah Norman tidak begitu santer terdengar.
Norman Edwin, si Beruang Gunung, petualang sejati yang paling handal dan diandalkan juga paling kharismatis. Ia juga bukan petualang karbitan yang heboh waktu berhasil mendaki sebuah gunung setelah itu hilang lenyap, tak ada lagi berita aktivitas kelanjutannya. Karena Norman itu orang yang konsisten dan disiplin.
Ia juga sosok yang humoris, sekaligus `guru' yang rendah hati dan jadi idola sekian banyak pecinta alam. Tak jarang ia diundang oleh perkumpulan-perkumpulan pecinta alam untuk menjadi instruktur mereka, membagi cerita dan pengalaman petualangannya. Atau kiprah nyata dia dalam memimpin proses evakuasi, operasi SAR korban hilang di gunung. Ia menjadi orang pertama yang mempopulerkan arung jeram serta telusur goa di Indonesia. Ia juga menjadi satu-satunya orang Indonesia yang memiliki sertifikat lisensi teknik penyelamatan goa dari Ameika Serikat. Ia petualang Indonesia (pada masa itu) yang sudah merambahi benua Amerika, Afrika, Asia, Eropa, Australia, hingga daerah Alaska.
Norman juga tak hanya dikenal sebagai seorang petualang yang tangguh, ia merupakan seorang yang piawai dalam dunia jurnalistik. Baik motret atau pun membikin tulisan. Ia memang sempat jadi wartawan Mutiara, Suara Alam dan Kompas. Belum lagi tulisan-tulisannya yang tersebar ke
berbagai media massa. Gaya tulisan Norman memiliki ciri khas yang unik. Tulisannya yang jujur, tegas, terbuka dan berani dalam mengungkapkan berbagai titik permasalahan. Dia selalu menuliskan kejujuran, meski terkadang dianggap kontroversi. Tak perduli itu akan membikin panas telinga beberapa pihak. Namun itulah yang mematangkan dunia tulis menulis Norman.
Norman tak hanya menceritakan berita petualangannya saja yang lokal maupun internasional itu saja. Tapi ia selalu menulis berita informasi yang lengkap dan dengan gaya tulisan yang manis. Kadang ia juga menyelipkan nasehat cara-cara yang baik untuk bergiat di alam bebas. Jadi tak melulu menceritakan kegagahannya di alam bebas. Hingga ketulusan Norman dalam memperkenalkan kegiatan alam bebas makin dipertegas dengan menerbitkan sebuah buku karangannya yang berjudul "Mendaki Gunung adalah Sebuah Tantangan Petualangan", terbitan PT. Aya Media pada tahun 1987. Ia memang telah mempopulerkan olah raga di alam bebas di kalangan generasi muda lewat tulisannya di berbagai media massa, juga melalui seminar dan berhasil menggerakkan mereka untuk kembali mencintai alam, mengajarkan bagaimana menggiati dunia petualangan yang baik dan sehat bagi remaja serta buku buah karya Norman itu juga telah merembesi sekian banyak pecinta alam muda Indonesia.
Ia juga yang berambisi mengangkat nama Indonesia dengan program—Seven Summit—mendaki serta mengibarkan Sang Saka Merah Putih di tujuh puncak dari tujuh benua. Ia makin dikenal di dalam maupun luar negeri. Perlu diketahui juga, bila sedang berkunjung ke luar negeri Norman dan rekan-rekannya tak pernah jemu untuk selalu memperkenalkan Indonesia ke negara yang dikunjunginya—terutama mempromosikan daerah wisata di Indonesia. Empat puncak berhasil didaki secara spartan, yakni puncak Carstensz Pyramide, McKinley, Elbrus, Kilimanjaro hingga
ekspedisi puncak benua yang ke 5, yakni gunung Aconcagua. Hingga berita buruk itu pun, tersiar bahwa tim ekspedisi Mapala UI mengalami musibah di gunung yang berada di Amerika Selatan, perbatasan Chile– Argentina tepatnya. Tim Norman memang banyak mengalami kendala di
lapangan, hingga tersiar kabar yang lebih menyakitkan lagi. Bahwa Didiek Samsu—salah seorang teman seperjalanannya—ditemukan dalam keadaan tewas dan Norman dinyatakan hilang tak tahu arahnya, hingga akhirnya diketemukan oleh pendaki Austria dalam keadaan tewas, hanya 200 meter dari puncak Aconcagua!
Kematian Norman Edwin
Norman meninggal pada pertengahan April 1992 saat mendaki Gunung Aconcagua (6.959 mdpl) bersama Didiek Samsu Wahyu Triachdi. Pendakian tersebut adalah bagian dari seri pendakian oleh Mapala UI dalam ekspedisi Seven Summit (Aconcagua, Cartensz Pyramid, McKinley di Alaska (Amerika Serikat), Kilimanjaro di Tanzania (Afrika), dan Elbrus di Rusia). Indonesia kehilangan dua pendaki terbaiknya sekaligus.
Meninggalnya mereka berdua banyak diliput oleh Media nasional dan international. Kala itu Norman juga menjadi pemimpin dari ekspedisi team MAPALA UI di gunung yg disebut juga ‘The Devil’s Mountain’ itu. Memang banyak juga yang meragukan Norman kala itu, namun berbekal pengetahuan dalam Penelusuran gua, Pendakian Gunung, Pelayaran, Arung Jeram serta sejumlah pengalaman Rescue di Irian Jaya, Kalimantan, Africa, Kanada bahkan Himalaya, membentuk kecepatan dan kekuatan phisik pada dirinya yang telah bergabung di Mapala UI sejak tahun 1977. Sampai akhirnya terpilih menjadi Leader dalam Expedisi ini bersama Didiek, Rudy “Becak” Nurcahyo, Mohamad Fayez and Dian Hapsari, satu satunya wanita dalam team tersebut.
Pengalaman selama 15 tahun dalam berpetualang sudahlah cukup bagi Norman untuk tetap berangkat. Saat expedisi berlangsung, badai salju menghantam Team ini dan akhirnya merenggut nyawa dua pendaki ini. Jenazah Didiek ditemukan terlebih dahulu pada tanggal 23 Maret atas laporan beberapa pendaki dari negara lain yang sempat melihat mereka berdua di ketinggian 6400 m, hanya tinggal beberapa ratus meter menuju Puncak Aconcagua. Sedangkan jenazah Norman ditemukan beberapa hari kemudian dan langsung diterbangkan ke Jakarta pada tanggal 21 April 1992.
Laporan saat itu kondisi keduanya terlihat sangat kritis, beberapa jari Norman terkena Frosbite (Mati Beku karena Dingin) dan Didiek menderita Snow Blindness (Buta Salju) akibat pancaran sinar matahari yang berlebihan yang memantul dari salju. Terlihat dari kacamata yang dipakai Didiek rusak berat. Spekulasi merebak melalui media massa bahwa kegagalan mereka juga diakibatkan karena minimnya peralatan yang dibawa.
Setahun kemudian Mapala UI yang status keanggotaannya berlaku seumur hidup ini, mengirim kembali dua anggotanya, yaitu Tantyo Bangun dan Ripto Mulyono untuk menyelesaikan pendakian ke Vinson Massif (4,887 meter) di Kutub Selatan. Dan satu lagi Puncak Everest di Himalaya dengan nama Team Expedisi Universitas Indonesia, namun sayang kegagalan juga menimpa team ini.
Dua kegagalan rupanya tidak menyurutkan semangat Mapala UI, karena puncak terakhirnya tetap dijadikan target bagi Expedisi Gabungan selanjutnya yang terdiri dari Mapala UI, Koppassus dan Wanadri. ‘Kami berusaha melakukan pendakian gabungan ke Everest tahun 1997 dan sukses, dua anggota team dari prajurit Koppassus yaitu Asmujiono dan Misirin berhasil mencapai Puncak Everest.’ ujar Rudy “Becak” Nurcahyo anggota Indonesian National Team to Everest yang juga kehilangan jarinya karna Frosbite di Expedisi Aconcagua.
‘Kami mencoba yang tebaik untuk mewujudkan itu semua. dan saya percaya Norman dan Didiek pun akan tersenyum disana melihat keberhasilan Team Everest ini. walaupaun setelah tahun 1997, Indonesia dilanda krisis ekonomi kemudian masa reformasi yang tak lama berselang. Keadaan ini otomatis ini menghambat Expedisi-expedisi selanjutnya yang telah direncanakan.
Norman Edwin Dimata Istri
Bagi istri Norman, Karina serta Melati putrinya, sosok hangat dan eksentrik Norman akan tetap menjadi kenangan yang takkan terlupakan. Semasa hidup, Melati selalu diajak serta dalam kegiatan alam bebas yang digeluti ayahnya itu, termasuk perjalanan ke Irian Jaya saat ia masih kecil. ‘Norman menjadi seorang petualang sejati dan sedikit bandingannya diantara pendaki-pendaki yang ada sekitar tahun 1970-80, dan Didiek adalah teman dekatnya.
Ia tunjukkan rasa hormatnya kepada wanita dan yakin bahwa wanita dapat mengerjakan sesuatu yang lebih baik daripada pria, apalagi menyangkut faktor keselamatan, contohnya Penulusan Gua’ papar Karina yang dulu juga aktif dalam kegiatan alam bebas sekembalinya dari Australia dan mengambil kuliah lagi jurusan Arkeologi di Universitas Indonesia.
Pesan dari Norman Edwin
‘Norman pernah mengatakan, aktivis alam wanita cenderung lebih tenang, tidak mudah panik dan dapat mengatasi situasi darurat jika dibandingkan dengan pria. Bagi saya ia sangat humoris dan mempunyai semangat hidup yang tinggi. Begitu pula yg rasakan Melati, sifat ayahnya ini menurun kepadanya walaupun ia masih berusia remaja. “Janganlah kita mencoba menaklukkan ganasnya alam, tapi belajarlah untuk menaklukkan ego serta mengetahui batasan diri kita sendiri”, faktor ini adalah yang terpenting jika ingin menekuni olahraga beresiko tinggi’ ungkap Karina yang dulu juga ikut dalam team di Expedisi Cartenz Irian Jaya tahun 1981 dan saat ini telah menyelesaikan program Doctoralnya di Australian National University.
Norman dan Didiek telah tiada, namun perjuangan mereka berdua akan tetap dikenang. Pendaki Indonesia patut memberikan penghargaan bagi manusia yang sangat mengispirasi para pendaki Gunung Indonesia.
sumber : wikipedia.org, thejakartapost.com
permainan slot online
situs slot
situs gacor slot
situs judi
situs judi online